Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Ritual Tanpa Iman


Nahyez613-- Hari kian gelap, matahari bersiap membenamkan dirinya untuk digantikan malam yang menghadirkan bulan. Kami melanjutkan perjalanan, mobil melaju perlahan menuju rumah dinas di perbatasan kota. Di sepanjang jalan pulang, banyak kutemui hal-hal yang terasa remeh namun tidak bisa dianggap tak penting.

Gambar : cintasedekah.com


Beberapa saat lalu, ketika aku mengunjungi sebuah toko kain karena hendak membeli selimut untuk anak-anak, kudapati sang majikan memaki pegawainya dengan kalimat-kalimat yang tidak pantas diucapkan. Ia melakukannya tepat didepan umum hanya karena pegawainya salah memotong kain yang hendak dibeli pelanggan.

Setiap pasang mata pengunjung tertuju ke arah sang pegawai, ada yang menatap hina, namun sebagian besar merasa iba dengan nasibnya. Jika dilihat dari hiasan kaligrafi di setiap sudut yang menghiasi dinding toko, serta songkok yang dikenakan, nampaknya si pemilik toko adalah seorang Muslim.

Tidak lama setelah mobil melaju beberapa meter, kudapati berpasang-pasang muda mudi usia belasan tahun duduk diatas motor di pinggiran jalan mengantri di kafe-kafe untuk menyantap hidangan berbuka, gadis-gadis belia yang mengenakan kerudung pertanda mereka adalah muslimah, kemana orang tua mereka? Tahukah para orang tua dengan apa yang dilakukan putera puterinya? Pantaskah bulan suci Ramadhan diisi dengan bermesraan di pinggiran jalan seperti yang mereka lakukan?

Memasuki jalan tol mobil kami melaju semakin cepat. Namun tiba-tiba saja kami dikagetkan dengan cipratan air berwarna hijau yang meninggalkan noda di kaca depan. Air tersebut berasal dari gelas plasti bekas yang terbang diterpa angin karena si pemilik membuangnya dari kaca jendela mobil pajero yang berada beberapa meter didepan kami. Ada kalimat tauhid yang tertulis di kaca belakang mobil tersebut, tidakkah itu menunjukkan si pemilik seorang Muslim?

Tak lama kami tiba di kawasan rest area hendak beristirahat sejenak sekaligus menunggu adzan Maghrib berkumandang. Ketika memasuki area Masjid dan hendak mengambil air wudhu aku melihat seorang wanita paruh baya mengenakan mukena tengah membuang sampah di sembarang tempat, padahal banyak tong sampah yang tersedia di sekitar area masjid. Tidak-kah sang ibu tersebut memahami arti sakralnya sebuah tempat ibadah?

Belum lagi aku teringat akan sebuah keluarga yang enggan berkunjung ke rumah beberapa sanak saudara dikarenakan masih menyimpan dendam meskipun telah datang hari nan fitri. Dimana setiap manusia berjabat tangan untuk saling meleburkan dosa, dendam, amarah, namun keluarga tersebut lebih memilih menyimpan dendam itu sedemikian rapat. Tidakkah mereka seharusnya mampu mencerna ajaran agamanya seperti mereka menyantap setiap suap kenikmatan yang ada dalam makanan.

خير الناس احسنهم خلقا وانفعهم للناس

       ‘Sebaik-baik manusia adalah yang baik budi pekertinya dan bermanfaat untuk orang lain’

Jika aku merenungi setiap kejadian tadi terutama sebagai seorang Muslim yang seharusnya mengamalkan ajaran Islam, perilaku seperti tadi tentu tidak selaras dengan apa yang ada dalam Islam. Pertanda ibadah mereka hanya sebatas ritual tanpa adanya keimanan, apalagi sampai ke tahap ihsan ataupun intelektual. Sehingga sangat mudah untuk saling menyakiti entah dengan ucapan ataupun perbuatan. Saling mendzolimi, berbalas dendam karena urusan duniawi, meraih sesuatu dengan menghalalkan segala cara, berlomba-lomba dalam pencapaian materi, korupsi, berghibah, serta merasa paling tinggi diantara yang lainya sebagai cerminan bahwa mereka seolah mengesampingkan adab dan akhlak. Bukti bahwa tidak setiap Muslim mampu menerapkan ajaran agamanya dalam bentuk amal soleh yang tercermin dalam sikap dan perilakunya setiap hari. 

Mirisnya, sebagian besar para pelakunya adalah orang-orang Muslim yang keseharianya melakukan ibadah-ibadah wajib seperti yang diperintahkan dalam rukun Islam. Namun sayangnya ajaran Islam tidak menyentuh hatinya, tidak pula mempercantik perangai dan ucapannya, apalagi membentuk kebaikan akhlaknya. Benarkah mereka hanya sebatas berIslam tetapi tidak beriman? Muslim tetapi tidak dapat disebut Mukmin. Mungkin itulah mengapa negara kita yang mayoritas muslim masih saja tertinggal padahal dalam QS An-Nisa ayat 141 Allah berjanji akan memenangkan Mukmin atas orang-orang kafir, itu karena identitas ‘Muslim’ dalam diri kebanyakan orang belum berkualitas sebagai sejatinya seorang ukmin.

Ramadhan hampir berlalu, tidakkah ia datang begitu lama dan pergi terlalu cepat setiap tahunnya? Akankah Ramadhan tahun ini kita tetap tak lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya? Betapa meruginya kita. Tinggal tersisa beberapa hari, mari manfaatkan Ramadhan untuk berbenah diri. Mari menyongsong hari nan fitri dengan sebenar-benarnya kemenangan hingga mendapatkan ampunan. Idul fitri bukan soal angpao merah, hidangan meriah, baju mewah, mobil istimewa, ataupun pulang kampung yang luar biasa untuk bertemu sanak saudara dengan kerinduan membuncah. Idul fitri adalah bagaimana kita disebut-sebut dan dijadikan bahan pembicaraan oleh para malaikat yang turun ke bumi karena mendapati kita qiyamu lail hingga subuh menjelang saat lailatul qodr tiba. Hari kemenangan adalah ketika puasa yang kita jalani dengan penuh keihklasan dan keimanan mampu menjadi pembakar dosa-dosa hingga terhapuskan. Wallahu a’lam. Ariene guZeL

Posting Komentar

0 Komentar