Nahyez613 -- “Wa la tamutunna illa wa antum kaatibun! Janganlah kalian meninggal kecuali kalian sudah menjadi penulis,” ucap almarhum Ali Mustafa Yaqub, pendiri Pesantren Hadits Darus Sunah, pesantren khusus untuk mahasiswa di bilangan Ciputat, Tangerang Selatan.
Ucapan mantan imam besar Masjid Istiqlal ini begitu lantang di hadapan ratusan santrinya saat pelaksanaan wisuda tahun 2011 lalu. “Walaupun hanya satu buku, berusahalah,” tegasnya.
Ia pun telah membuktikan ucapannya ini. Sebelum meninggal dunia, kiai yang dikenal sangat tegas itu pun telah menuangkan ilmu dan pemikirannya lewat tulisan hingga mewariskan banyak karya buku.
Bahkan penulis-penulis terdahulu dengan segala keterbatasan alat, tetap gigih menulis. Karya mereka masih lestari dan sangat berarti bagi perkembangan ilmu dan peradaban dewasa ini.
Tradisi para ulama terdahulu, para murid menulis kembali pendapat dan pemikiran guru-gurunya. Sehingga ditemukan syarh ( komentar dan penjelasan lebih terperinci ) dari suatu kitab, seperti Syarh Hadits Bukhari, Syarh Hadits Muslim, yang ditulis oleh murid-murid mereka.
Semangat Berkarya Para
Ilmuwan Terdahulu
Bayangkan jika para ilmuwan terdahulu tidak gigih menulis, tentu kita tidak dapat menikmati ilmu-ilmu mereka. Ulama, ahli tafsir, ahli hadits, ilmuwan, filosof, novelis, serta sejarawan, mereka semua menulis. Bukan hanya satu buku tapi ada yang puluhan bahkan ratusan jilid.
Menurut Dr Kaelany HD, pendiri Midada Center, para ilmuwan menulis karena dalam dada mereka penuh ilmu dan di kepala mereka penuh dengan pemikiran, lalu dituangkan melalui tangan, pena, dan tinta ke atas kertas.
“Tak bisa kita bayangkan dalam usia yang relatif pendek, para ilmuwan, ahli tafsir, pengumpul hadits, juga ahli fikih, menulis berjilid-jilid buku dengan tulisan tangan mereka,” ungkap dosen Universitas Indonesia ini.
Mereka menulis dengan tangan dan alat tulis sederhana. Penanya dari bulu angsa, bambu, atau pelepah kurma, dan tintanya terbuat dari tumbuh- tumbuhan. Waktu malam dengan penerangan yang redup mereka bangun, shalat, dan menulis.
Bisa kita saksikan hasilnya, salah satunya di pameran al-Qur’an ada yang berupa tulisan tangan, bahkan ada hasil tulisan pada daun lontar, kulit kayu, atau kulit hewan. “Sesederhana apa pun tulisan, pasti ada manfaatnya,” tutur mantan wartawan Bisnis Indonesia era tujuh puluhan ini.
Orang yang tidak biasa menulis, sambung Kaelany, kalau ilmunya banyak, dia akan berusaha menyampaikan pesan-pesan kepada orang lain dengan lisan. Tapi kemampuan orang berbicara, dan kesanggupan orang mendengar terbatas. Sehingga penyebaran ilmu terhambat dan tidak lancar
Tanpa tulisan ulama–ulama dan ilmuwan terdahulu itu, tentulah perkembangan ilmu tidak akan berlanjut. Dan kita sekarang tidak dapat mengetahui ilmu pengetahuan yang telah mereka gali.
Mengapa Kita Harus
Menulis?
Di dalam suatu hadits disebutkan bahwa ada tujuh hal yang menjadi amal jariyah, amal yang tidak henti-hentinya mengalirkan pahala. Ibarat pohon yang terus berbuah tak kenal musim, meski yang melakukannya telah berada di alam kubur.
Ketujuh hal tersebut ialah, orang yang mengajarkan ilmu, orang yang membuat aliran sungai (irigasi), orang yang menanam pohon-pohon untuk penghijauan, orang yang menggali sumur untuk umum, orang yang membangun masjid atau apa saja untuk kegiatan keagamaan, orang yang meninggalkan anak shaleh yang mendoakan orangtuanya, dan orang yang meninggalkan mushaf.
Mushaf yang dimaksud ialah buku, kitab, majalah, koran, baik yang ditulis orang lain maupun ditulis sendiri. Ketika lembaran-lembaran tulisan kita dibaca orang lain dan memberikan manfaat bagi banyak orang, maka selama itu pula akan terus mengalir pahala bagi penulisnya.
Terlebih lagi di era digital saat ini, dimana sebuah tulisan bisa memberikan dampak yang sangat signifikan bagi pembacanya. Jutaan bahkan milyaran orang di dunia menggunakan gadget ntuk mengakses informasi lewat dunia maya.
Mari kita gaungkan kembali
budaya menulis, mengikuti kebiasaan ulama dan para ilmuwan terdahulu. Niatkan
menulis sebagai ladang ibadah untuk menebar manfaat bagi banyak orang. <Ryan
Febrianti>

1 Komentar
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus