Tuan HK keluarga kaya dan terpandang karna kebaikan dan
kedermawanannya. Orangtua Melati sudah berusaha sekuat tenaga mengobatinya
dengan dokter spesialis dan psikiater terbaik bahkan pernah didatangkan dari
luar negri.
Hingga akhirnya kebiasaan Melati yang sering mudah marah pun
terjadi. Dia menggigit jari salah satu dokter dari tim dokter ternama. Bahkan
salah satu dokter pun berkata, "Anak ini tidak membutuhkan dokter, nyonya!
Anak ini membutuhkan rumah sakit jiwa."
Kemudian terdengar pula teriakan-teriakan marah dan panik
lainnya, bersahut sahutan. Keributan itu berakhir satu jam kemudian, setelah Melati
lelah, menggerung seperti lokomotif kereta kehabisan solar dipojokan kamar.
Tuan HK dan Bunda berkali-kali meminta maaf.
Bunda tidak terima kalau Melati dibilang gila, semua dokter
menyarankan untuk memasukan Melati ke RSJ. Tetapi dokter Kinasih, dokter
keluarga Tuan HK berkata, "Melati akan baik-baik saja Bun. Jika Bunda
tetap yakin, maka ia pasti akan baik baik saja."
Lewat perantaraan Kinasih, Bunda dikenalkan dengan pemuda yang
sangat mengenal anak-anak. Dulu dia sempat punya taman bacaan untuk anak-anak
asuhnya, hingga semakin banyak cabang taman bacaannya di berapa daerah.
Pemuda itu bernama Karang, dia memang gemar membaca apa saja
yg berkaitan dengan anak-anak. Dan anak-anak pun sangat mengenalnya dan
menyayanginya. Hingga kejadian itu tiba, saat Karang dan anak-anak asuhnya
mengadakan perjalanan ke pantai dan terjadi kecelakaan di sana yang
mengakibatkan beberapa anak asuhnya tewas.
Sejak itu, Karang
selama bertahun-tahun sangat menyalahi dirinya sendiri. Marah pada dirinya
sendiri, hingga dia larut dan yang dilakukan hanyalah menyendiri dan mabuk.
Bunda punya keyakinan yang kuat bahwa Melati akan baik-baik
saja. Seperti yang sering terlihat dalam bunga tidurnya, melihat Melati
menghampiri sambil memberikan secangkir jeruk panas untuknya. Mimpi itu seolah
begitu nyata untuk Bunda.
Mendengar cerita Kinasih tentang Karang, Bunda pun berusaha
untuk mengirim surat pada Karang untuk membantunya menangani Melati. Sudah
beberapa surat tergeletak begitu saja di kamar Karang.
Hingga akhirnya Bunda pun menghampiri Karang dan meminta
tolong langsung. Awalnya karang tidak mau, tapi ibu yg selama ini tinggal bersamanya
mengatakan sesuatu yang membuatnya mau untuk mencoba membantu Bunda.
setelah sekian lama acuh dengan penampilannya, kali ini
Karang kembali mau marawat dirinya menjadi lebih bersih dan rapih untuk pergi
ke rumah Tuan HK. Kesan pertama melihat Melati, Karang langsung teringat gadis
kecil yang ada di mimpinya selama ini. Gadis kecil yang berlari kecil di tepi
pantai.
Dulu, tiga tahun yang lalu Melati sama seperti anak lainnya.
Setelah kejadian itu, saat Melati masih berusia tiga tahun, masih lincah
berlarian menyentuh bibir pantai, dan setelah berhasil menyentuhnya dia pun
tertawa senang.
Sayang, saat dia berlarian dia terjatuh dan dahinya
terbentur, sejak itulah terputus semua kesenangan. Seketika. Menghentikan
seluruh tawa. Ternyata kejadian dalam mimpi Karang persis dengan apa yang
terjadi dalam kehidupan Melati tiga tahun yang lalu.
Bunda lagi-lagi keliru. Melati sama sekali belum tidur.
Seperti malam malam sebelumnya, ia memang sudah terbaring di atas ranjang,
sudah lelap tampaknya. Tapi otaknya masih terjaga.
Melati menggerung pelan. Jemarinya mengetuk-ngetuk di bawah
selimut. Ia aktif sekali sepanjang hari. Seperti ada energi raksasa yang tidak
bisa kunjung dilepaskan. Bersemayam di otaknya. Rasa ingin tahu, rasa ingin
segalanyayang sayangnya tidak pernah memiliki akses untuk keluar setelah
bertahun-tahun.
Saat Karang melihat Melati sedang di meja makan dengan
kebiasaannya memutar-mutar makanannya dengan tangan, jika pun dia marah maka
akan menggerung dan melempar piringnya. Karang mengatakan, "Anak ini
memang buta dan tuli, Tuan! Tapi bukan berarti ia tak berotak. Hanya binatang
tidak berotaklah yang tidak memiliki adab makan. Mengaduk-ngaduk makanannya.
Bahkan monyet terlatih pun bisa menggunakan sendok garpu!"
Dan sejak saat itu, Karang pun memutuskan untuk membantu
Melati dengan caranya. Cara yang begitu tegas hingga Tuan HK pun sempat marah
dan tersinggung dan mengusirnya dari rumahnya. Tapi Bunda berhasil meyakinkan
suaminya untuk memberi kesempatan pada Karang. Dan Karang pun mau membantunya
dengan segala kesepakatan yang ada.
Pertama-tama karang mengenalkan Melati menggunakan sendok
dan garpu saat makan dengan begitu tegas. Sampai Melati pun marah melempar
semuanya.
"Setiap kali kau protes, maka seseorang akan
mengingatkan bahwa Tuhan Maha Adil, ya, Tuhan Maha Adil. Sebab kita terlalu
bebal maka kitalah yang tidak tahu di mana letak keadilan-Nya, tidak tahu apa
maksudnya. Kalau kita tidak pernah mengerti, itu jelas karena kita terlalu
tolol, bukan berarti Tuhan tidak adil. Tuhan selalu benar," ujar Karang.
Karang tertunduk pelan, mendekap Melati. Dengan segala
tindakannya yang begitu tegas terhadap Melati, Karang pun bergumam, "Ibu
semua urusan ini sedikit pun belum terlihat ujung terangnya.”
Kalimat itu benar sekali, jika ingin menyembuhkan bisul,
pecahkan saja sekalian! Sakit memang. Tapi cepat atau lambat bisul itu tetap akan
pecah.
Banyak sekali orang-orang yang takut melakukannya. Berpikir
terlalu panjang, berhitung terlalu rumit! Padahal setelah bisulnya pecah, malah
berseru lega. Benar - benar omong kosong menyedihkan manusia yang setiap hari
justru sombong atas kehebatan otaknya!
Sekuat tenaga Karang berusaha mambantu Melati bahkan sempat
terusir lagi oleh Tuan HK karena ketahuan Karang mabuk di rumahnya. Sejak saat
itu Karang berjanji tidak akan mabuk lagi dan akan terus membantu Melati.
Hampir saja Karang keluar dari rumahnya, tapi Bunda melihat
Melati ada kemajuan. Bunda melihat Melati sedang duduk jongkok. Tangannya
gemetar sekali memegang sendok. Sup jagung tumpah dimana-mana tapi ini untuk
yang pertama kali dalam hidupnya, Melati makan menggunakan sendok.
Wajah menggemaskan itu dengan bekas iler di pipi sedang
makan. Bunda jatuh terduduk. Menangis. Mendekap wajahnya penuh haru bahagia.
"Mengenal sendok dan garpu merupakan kemajuan kecil nyonya" kata Karang.
Kemudian Karang menjelaskan strategi selanjutnya yaitu
dengan mengosongkan lantai dua dari perabotan dan foto, sebab Melati akan mulai
belajar dari awal untuk mengenal benda lainnya. Pertama, kursi untuk duduk dan
kemudian melempar bola karet.
Tapi setelah tujuh belas hari belum ada kemajuan, akhirnya Karang
pun pulang sebentar mengambil buku dan boneka panda milik Qintan (anak asuhnya
dulu) yang sudah tewas dihantam ombak. Ketika itu ada satu buku tersenggol,
judulnya, "Terapi Akupuntur untuk Syaraf".
Setelah boneka panda diberikan pada Melati, biasanya apa pun
yang ia pegang selalu dilempar, tapi kali ini tidak. Melati memegang boneka
panda dengan seksama sesekali menggerung lebih kencang. Bereaksi dengan benda
yang tiba-tiba diletakkan di tangannya.
Matanya berputar lebih cepat. Meraba-raba boneka itu. Menyeringai.
"Baaa..."
Tiga hari terakhir Karang mengumpulkan benda apa saja. Ia
ingin Melati mengenali teksturnya, bentuknya. Memaksa Melati menyebut
nama-namanya. Karang memaksa syaraf, panca indera, perasaan, apapun itu namanya
yang masih tersisa di kepala dan seluruh tubuh Melati untuk bekerja keras.
Sayang, sejauh ini terlihat sia-sia. Setiap kali Melati
melempar benda yang dipegangnya karang mendengus, "Caranya! Caranya!"
Sudah berbagai macam cara hingga dengan api pun Melati belum juga bisa mengenali
bagaimana cara berkomunikasi. Walaupun sudah mengenal benda sedikit.
Pagi itu gerimis membuat syahdu suasana. Melati menyendok
makanan dengan takzim. Mata hitamnya berputar-putar, senang. Kepalanya
mengangguk-angguk riang dengan suasana sekitarnya, termasuk meja dan kursi yang
sudah dikenalinya.
Tiba -tiba tuan HK datang dan terjadi keributan antara tuan
HK dan Karang, tanpa disadari Melati menghilang. Ternyata dia keluar terkena
air hujan dan dia semakin bahagia ingin mengenali semuanya. "Jangan!
Jangan dekat dekat nyonya," Karang yang sempat menatap wajah melati
mendadak berseru. Sejuta voltase setrum listrik itu tiba-tiba menyambar
kepalanya. Karang tiba-tiba tersungkur merasakan apa yang Melati rasakan. Saat
itulah keajaiban Tuhan mampir di rumah Tuan HK.
Ketika telapak tangan Melati terjulur ke depan. Ketika air
mancur membasuh lembut telapak tangannya. Mengalir ringan disela-sela
jemarinya. Gelap itu mendadak digantikan tarian sejuta Aurora.
Melati sempurna tergugu. Ia tidak pernah melihat cahaya
seindah ini. Cahaya bisa melihatnya. Tarian sejuta aurora termasuk cerita yang
pernah Karang ceritakan pada Melati dan seolah Melati mendengarnya.
"Baa.. baa..." Melati menggerung pelan. Karang
berusaha mendekati. Matanya basah. Dia menjadi saksi utuh atas keajaiban ini.
Karang gemetar merengkuh tangan Melati yang satunya, yang tidak terjulur. Ia
mengerti sudah caranya! Caranya itu! Telapak tangan Melati. Akhirnya sisa-sisa
panca indera itu kembali.
Melalui telapak tangan Melati, air mancur yang mengalir
lembut di tangan dan sela jari berhasil mencungkilnya. "A-I-R" Karang
gemetar menulis huruf demi huruf itu di telapak tangan melati.
"Baa-aa-aa," Melati menggerung pelan.
Kemampuan itu sudah tiba. Seluruh permukaan telapak tangan
Melati bak merekah oleh simpul syaraf yang berjuta kali lebih sensitif
dibandingkan siapa pun. Ada mata, telinga dan mulut melati disitu. Karang
mendekatkan telapak tangan Melati ke mulutnya. Berkata sekali lagi dengan suara
bergetar, "A-i-r” dan "Baa-aa-aa..." Melati mendadak tersenyum
riang.
Senyuman yang utuh setelah sekian lama terkukung oleh rasa
frustasi. Ia mengerti sudah. Setelah tahu bagaimana caranya berkomunikasi,
mengenal semuanya. Membuat Melati ingin tahu segalanya. Karang mencium rambut
ikalnya sambil berbisik, "Terimakasih, Tuhan! Kau sungguh bermurah
hati."
Setelah Bunda juga perlahan mulai bisa berkomunikasi dengan
Melati, Karang pun pamit untuk pergi dari rumahnya. Melati pun marah
mendengarnya, tapi lambat laun seperti biasa. Tiba-tiba gadis itu menggerung
pelan, "Baaa, maaa... baaa..maaa." Sambil menyengir, memperlihatkan
gigi kelincinya.
Bunda tertegun. Satu detik hingga lima detik. Meski pelan,
jika kalian tahu artinya, gerungan itu sungguh membuncah hati. Ya Allah dulu
Bunda selalu bermimpi putri semata wayangnya akan menyebutkan kalimat indah
itu, malam ini nyata dan Bunda mendekap erat-erat tubuh malaikat kecilnya itu. Matanya
berkaca menahan tangis haru. Baru saja Melati mengatakan, "Bunda met bobo
juga...Moga Bunda disayang Allah."
Engkau sungguh bermurah hati. Engkau sungguh Maha Pemurah
atas seluruh hidup dan kehidupan. Terimakasih ya Allah. <Laeli Tejal>

0 Komentar