Belajar malam atau muwajjahah menjadi rutinitas kami setiap malam setelah shalat isya’. Ketika waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB maka jaros akan berdentang pertanda para santri harus Kembali ke kamar untuk melakukan absen malam sebelum Kembali melanjutkan belajar. Namun tidak dengan kami bertiga pada malam itu. Entah apa yang membuat kami tetap menetap didalam kelas dalam waktu yang cukup lama.
Tujuanya hanya ingin sedikit menghibur diri dengan membaca komik conan yang berhasil kami selundupkan setelah perpulangan awal tahun. Kami rasa setelah insiden penyitaan ratusan novel yang dibakar oleh ri’ayah dibelakang Qo’ah, kami menjadi kurang hiburan, belasan novelku-pun termasuk yang telah menjadi abu. Jangan salah, novel islami ataupun komik akan menjadi barang haram di kampus kami, alasanya karena itu akan membuat para santri enggan menyentuh buku-buku pelajaran yang keseluruhanya berbahasa arab dan inggris.
Sekitar pukul 23.00 WIB tanpa kami sadari salah satu bagian keamanan pusat sudah berada di depan pintu kelas. Wajah kami datar dengan sedikit membelalakan mata tanpa expresi seperti melihat hantu. Aku duduk dikursi paling depan, dua temanku salah satu duduk dibangku paling belakang, yang satunya berada dibarisan kedua bangku pertengahan, Ketika mereka menyadari kehadiran seseorang yang tak diharapkan, spontan mereka melempar komik ke dalam laci meja kelas. Dan khutbah Panjang-pun dimulai. Kami hanya mampu menundukkan wajah sedalam mungkin untuk menghindari tatapan.
“madza a’miltunna?” qism amn memulai pertanyaan.
“ta’alum” kami menjawab sekenanya, dan sudah pasti jawaban kami dibalas dengan senyum sinisnya karena jelas itu adalah kebohongan besar.
“ma sami’tun jaros? Ayyi sa’atil an?” kami dicecar pertanyaan dengan posisi berdiri beriringan dan menundukkan wajah sedalam mungkin, mulut komat kamit berharap tidak ketahuan jika kami membaca komik disela sela ritual belajar pada malam itu.
Kami berdiri tegap tak bergeming, sementara ukhti bagian keamanan mulai menyusuri Lorong-lorang bangku kelas dan memeriksa laci satu persatu. Tidak perlu ditanya lagi bagaimana perasaan kami saat itu. Membayangkan persidangan di depan kantor bagian keamanan dan sanksi yang akan kami terima, itu sudah cukup membuat keringat dingin deras bercucuran.
“ma hadza?” ukhti bagian keamanan menunjukkan komik yang sudah pindah posisi ke tanganya, kami lemas, tangan dan kaki lunglai seperti tak bertulang. tak perlu menjawab-pun dia sudah tahu jawabanya. Diam kami berarti telah menyadari kesalahan. Kami pasrah, entah apa yang akan terjadi esok hari.
KEESOKAN HARI
Benar dugaan kami, usai shalat dhuhur berjama’ah, nama kami bertiga masuk pada deretan nama-nama yang harus menghadiri persidangan bagian keamanan siang itu. Tidak membutuhkan waktu lama kami sudah berada di depan kantor bagian keamanan berbaris rapi bersama para pelanggar yang lain. Salah satunya teman kami siti madenang yang berdiri disampingku, dia ketahuan pindah tempat tidur ke masjid Bersama teman kami yang lain sakanti pintokorini, namun sakanti tidak hadir dalam persidangan itu. Jangan harap kami akan kebagian jatah waktu untuk makan siang.
“hal ta’rif ma khoto’ukun?” kalimat pembuka persidangan dari salah satu anggota bagian keamanan yang paling popular.
“a’rofna” jawab kami penuh beban. Menciptakan aura wajah penuh dosa.
“ayna sakanti? Limadza nimti fil masjid?” pertanyaan berikutnya diarahkan kepada teman kami siti madenang. Apesnya si made tidak benar-benar memahami pertanyaan dengan baik. Dengan gaya slebor nya cengar-cengir membuat kita setengah mati menahan tawa.
“fil masjid” jawab si made polos, sekuat tenaga kami menahan tawa. Wajah ukhti amn tersulut amarah. Jelas bahwa masjid bukanlah tempat tinggal.
“ayna sakanti?” suaranya semakin meninggi. made mengira ukhti amn menanyakan keberadaan temanya yang bernama sakanti pintokorini. Made kebingungan hingga beberapa kali melirik kearah kami.
“anyna sakanti?” seringai suara bagian keamanan kembali mengulangi pertanyaan, gertakanya semakin membunuh keberanian kami. Made masih saja bingung harus menjawab apa. Dia pikir jawabanya sudah benar.
“ayna sakanti?” pertanyaan itu semakin terdengar mengerikan, namun melihat wajah teman kami si madenang antara takut namun juga menggelikan. Kami sedikit berbisik dan memberi isyarat maksud dari pertanyaan ukhti. Hanya karna salah memahami makna “sakanti” persidangan ini akan berakhir sangat lama dan Panjang. Bahkan, tiap tahapan sanksi-pun akan siap menghajar.
Tak berapa lama berselang
“fi sudan” akhirnya made menjawab dengan benar. Itu adalah nama salah satu rayon di pesantren tempat kami belajar.
Semenjak berakhirnya persidangan itu, kami tidak mampu melupakan hingga jam, hari, bulan, bahkan tahun berlalu. Kami tertawa kadang terbahak walau hanya sekedar mengingatnya. Kala itu kami lam yakun syai’un madzkuro. Disana tempat kami merangkai asa, merajut mimpi, dan mengukir kisah yang kelak akan menjadi sejarah dalam kehidupan kami. Menghabiskan masa remaja belajar di pesantren ada banyak hal yang kami pelajari. Bagaimana kami memecahkan masalah demi masalah yang kami hadapi, belajar setia kawan, mematuhi rentetan disiplin yang tak jarang kami langgar. Benar, apa yang kami dengar, kami lihat, dan kami rasakan, semuanya adalah Pendidikan.
Ariani Sukma
Ahad, 20 September 2020
Menulis disela-sela jam mengajar (dengan harapan suatu saat nanti tulisanku bisa dinikmati orang banyak dan membawa banyak manfaat) maaf masih belajar.
1 Komentar
Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
BalasHapusdimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
WA : +855964283802 || LINE : +855964283802