Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

MASLAHAH DALAM RANAH FIQIH TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA

MASLAHAH DALAM RANAH FIQIH TERHADAP PROGRAM KELUARGA BERENCANA 


Oleh: Zahrotun Nafisah. Lc., M.H.I. 

KB Nahyez 613
foto: artikula.id


Dalam Islam, pernikahan merupakan salah satu sunnah yang dapat menyempurnakan separuh agama. Di dalam ikatan sebuah pernikahan disebut sebagai mitsaqan ghalidzan atau perjanjian yang kokoh antara dua orang yang sah sebagai pasangan suami istri untuk memulai kehidupan baru dalam sebuah rumah tangga. 

Perjanjian pernikahan ini sebagaimana di dalam Al-Qur’an disebutkan sejajar dengan perjanjian Allah dengan para Nabi. Sehingga tidak dipungkiri jika setiap pasangan mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, sakinah dan dapat menjalankan nilai-nilai agama dengan baik. Dengan adanya pernikahan tersebut tidak lain tujuan utamanya adalah tanaasul, melahirkan garis keturunan keluarga. 

Dalam agama Islam sendiri juga sangat mendukung pada kelangsungan generasi islami yang semakin banyak dan memberkati setiap kelahiran anak baik laki-laki maupun perempuan. Namun jika melihat pada realita Negara Indonesia yang memiliki populasi yang sangat tinggi dan muncul berbagai masalah sosial ekonomi, ada keterkaitan pada pencanangan program Keluarga Berencana (KB) yang dimulai awal tahun 1970-an hingga sekarang. Dan hal ini tidaklah mudah diterima oleh masyarakat yang mayoritas muslim, sehingga terjadi banyak perspektif pro dan kotra.

Untuk itu perlu diketahui definisi KB menurut Mahmud Syalthut adalah usaha pengaturan kelahiran atau mencegah kelahiran sementara atau selama-lamanya yang berhubungan dengan situasi dan kondisi tertentu, demi kebaikan yang bersangkutan, keluarga maupun masyarakat dan Negara. (Alfauzi, 2017) KB dalam istilah bahasa Arab disebut dengan تَنْظِيْمُ النَّسْلِ (mengatur kelahiran) atau تَحْدِيْدُ النَّسْلِ (membatasi kelahiran). Sedangkan pada istilah bahasa Inggris ada yang menyebut sebagai family planning, birth control dan planning parenthood.

Dari istilah-istilah tersebut dalam diperjelas bahwasanya KB adalah tindakan yang mengatur atau merencakan kelahiran seorang anak dengan berbagai cara baik secara alami maupun menggunakan alat kontrasepsi yang terdapat legalitas dari pakar kesehatan. 

Lantas menelisik pada landasan Al-Qur’an dan Hadits yang menyebutkan tentang keterkaitannya dengan nash yang menunjukkan maslahat pada program KB diantaranya sebagai berikut: Surat An-Nisa ayat 9

 وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا 

"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar."

Surat Al-Baqarah ayat 233 menjelaskan tentang anjuran menyusui anak selama kurun waktu 2 tahun, yang artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian…….”

Dari kedua ayat tersebut dapat dipahami bahwa membentuk maslahat dalam keluarga dapat diatur dengan memberikan bekal yang cukup untuk anak-anak ketika ditinggal kedua orangtuanya. Bekal ini tidak hanya fokus pada materi saja, namun memiliki arti lebih luas pada hal pendidikan, ketrampilan, kesehatan dan membentuk anak-anak menjadi generasi yang kuat. Begitu pula anjuran untuk menyempurnakan hak anak akan pemberian ASI, yang setelah itu dapat dipahami bahwa jarak ideal antara anak satu dengan lainnya adalah 2 tahun atau lebih. 

Sehingga anak yang terlahir tidak menjadi beban untuk orangtuanya. Sumber hukum dari hadits Jabir yang melakukan ‘azl pada masa Rasulullah SAW dan beliau tidak melarangnya:

 عَنْ جَابِر، قَالَ كُنَا نَعْزِلُ عَلَي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَلَغَ ذلِكَ نَبِيَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَنْهَنَا. وَفِي الرِّوَايَةِ الْقُرْآنُ يَنْزِلُ 

“Dari sahabat Jabir berkata: Kami melakukan azl pada masa Nabi SAW sedangkan ketika itu Al-Qur’an masih turun, kemudian berita peristiwa ini sampai kepada Rasulullah dan beliau tidak melarang kami.”(Shahih Muslim, 4:160) 

Dari esensi hadits tersebut dapat diqiyaskan ‘azl dengan praktek KB yang ada pada permasalahan kontemporer baik secara alami maupun menggunakan alat kontrasepsi seperti pil KB, kondom, IUD dan sebagaimana. Karena memang jika tidak ada nash yang jelas membahas tentang praktek KB ini.

Pelaksanaan KB yang sesuai dengan syariat Islam ini tidak lain berorientasi pada pengaturan kelahiran anak yang perlu disetujui oleh ahli medis dengan melihat beberapa faktor maslahah berikut:


  • Keselamatan dan kesehatan ibu. Karena ibu yang mengandung berpotensi dengan berbagai gangguan kesehatan seperti hypertensi, anemia, penyakit jantung dan lain sebagainya. 


  • Keselamatan dan kesehatan anak. Adanya kekhawatiran tidak terpenuhi hak-hak anak seperti ASI, bonding antara ibu dan anak, atau biaya yang terbatas jika anak berjarak sangat dekat. 
  • Kemaslahatan masyarakat dan Negara dalam mengurangi masalah-masalah sosial dan ekonomi dengan mengurangi populasi penduduk, seperti masalah kemiskinan, gizi buruk, dan lain-lain. 
Pengaturan kelahiran anak pada program Keluarga Berencana ini disamping memiliki dampak positif pada kesehatan dan keselamatan ibu dan anak, juga memiliki sisi positif pada ranah ekonomi keluarga yaitu cashflow (pendapatan dan pengeluaran) keuangan keluarga yang dapat diatur pada kebutuhan primer, sekunder maupun tersier dalam keluarga. Karena setiap keluarga memiliki kebutuhan dan gaya hidup yang berbeda, sehingga jika program KB ini dilakukan akan dapat menciptakan keluarga yang harmonis dan tercapainya tujuan utama dalam keluarga tersebut yakni kemaslahatan bagi setiap anggota keluarga baik suami, istri dan anak-anak.
Wallahu a’lam bisshowab 

Posting Komentar

0 Komentar