Header Ads Widget

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

IMUNISASI ANTI ALAY UNTUK ALUMNI GONTOR....?

(MENYEKOLAHKAN ANAK) KE GONTOR, APA YANG KAU CARI?
(MENYEKOLAHKAN ANAK) KE GONTOR, APA YANG KAU CARI?

Cara Gontor mendidik santri memang lain. Yang pasti, orang tua atau wali tidak boleh mengintervensi atau bahkan sekedar usul agar pondok begini atau begitu. Pun, tidak ada organisasi orangtua siswa di Gontor. Kalau memang percaya pada pondok, serahkan sepenuhnya pendidikan anak Bapak/Ibu kepada pondok. Jika tidak, silakan mencari tempat pendidikan lain. Ini sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri. Masalahnya, kalau diberi kesempatan usul, semua wali santri akan usul semua yang intinya justru mengedepankan egonya. Nah, ego itu yang di Gontor justru dipangkas habis. Pernah ada seorang wali calon pelajar yang anaknya baru saja diumumkan lulus diterima di Gontor usul kepada Pak Zarkasyi.

Katanya, "Pak Kasihan itu anak-anak. Kamarnya sempit, padat. Tidak nyaman untuk tidur. Sebaiknya pondok segera membangun gedung yang baru!"
Tak kurang akal, Pak Zar pun menjawab, "Yah, baru ini yang kami mampu. Untuk membangun gedung membutuhkan banyak biaya. Sementara, kalau toh mungkin, muridnya yang dikurangi."
Rupanya saang bapak tadi terpancing untuk kembali berbicara, "Oh, iya, itu saya setuju, Pak Kyai." Ucapnya.
Pak Zar kembali menawarkan, "Yang kalau begitu, bagaimana kalau yang dikurangi itu termasuk anak Bapak?"
Dengan serta merta, si bapak tadi menyahut, "Oh, jangan, jangan anak saya!"
Pak Zar pun terkekeh demi mendengar kata-kata bapak tadi. Apa kata Pak Zar di kesempatan lain? "Itulah manusia. Kalau usul muluk-muluk, tapi kalau sudah terkena pribadinya, dia tidak mau." Itu sekaligus merupakan gambaran nyata jika orang tua santri diberi kesempatan mengemukakan usulnya.

Yang jelas, sebagaimana dikatakan oleh Alm. K.H. Imam Zarkasyi, salah satu pendiri PM Gontor, bahwa sistem pondok ini sudah benar lagi telah menghasilkan. Artinya, sudah banyak alumni Gontor yang berhasil di masyarakat, dengan predikat apapun. Yang melanjutkan ke perguruan tinggi hingga memperoleh gelar profesor, banyak; yang berwiraswasta dan berhasil menjadi milyarder, tidak sedikit; yang menjadi pejabat publik di lembaga formal maupun nonformal apalagi. Dan, jangan lupa. Yang bertekun menjadi guru ngaji di desanya; mengajar di madrasah kecil yang didirikannya, tanpa gaji dan insentif apapun, tak terhitung.

Intinya, mereka menjadi khayru al-nasi yanfa'uhum li al-nasi, 'bermanfaat bagi banyak orang.' Ada Ust. Dr. Shobahussurur Syamsi, Ketua Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru. Ada Pak Zainuri Harib dari Lampung yang puluhan tahun, sejak tamat KMI (hanya tamat KMI), menjadi sekretaris Konjen RI di Jeddah; Ada kakak kelasnya, Pak Emil Shamsuddin, yang 'bukan apa-apa' tetapi hampir sebulan sekali bersama keluarganya berjualan ke Australia, Belanda, dan sejumlah negara Barat lainnya. Ada juga Pak AM Fachir yang semasa di Gontor aktif pramuka dan mahir bermain sepakbola, kini menjadi Dubes di Kairo, Mesir. Ada juga Budi Mardiyah, alumnus Putri 1, yang menjadi Sekretaris Dubes Saudi Arabia di Jakarta, meskipun tidak pernah sekolah di negara Arab manapun. Namun, ada juga almarhum Pak Ihsanuddin dan Pak Samuri, yang menjaga saya semasa sekolah SMA di Madiun; imam mushalla kecil dekat stasiun kereta api, yang setiap waktu shalat, saya yang disuruh mengumandangkan adzannya. Dan masih banyak lagi.

Mengapa mereka bisa menjadi seperti itu? Gontor adalah lembaga pendidikan pesantren yang berorientasi life skill dan mental skil, dan bukan job skill, yang hanya berorientasi buruh, pejerka, bukan manajer. Gontor adalah tempat belajar hidup yang baik. Di Gontor, anak manusia dari berbagai suku dipersatukan, diorganisasikan, dibangun rasa ukhuwwah Islamiyahnya, diberi kegiatan yang beragam dan mendidik. Tak satupun aktivitas di pondok yang boleh tidak mendidik. Aktivitas itu merupakan praktik riil dari ilmu-ilmu yang dipelajari di bangku sekolah. Bahkan, anak-anak luar negeri pun, ketika berlatih pramuka hari Kamis siang, juga harus mengibarkan bendera merah putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya. Semuanya akan membekas. Pelajaran Mahfuzhat, Muthala'ah, Ushul Fiqh, dsb., membekali dan selalu mneyertai hidup dan cara berfikir para alumni. Hingga orang sekelas alm. Nur Cholish Madjid, Cak Nun, atau Pak Hasyim Muzadi, dengan tegas mengatakan bahwa cara berfikir yang dipakai adalah cara berfikir Gontor.

Di Gontor pula anak-anak dilatih berorganisasi secara berjenjang. Awalnya tentu saja harus menjadi anggota. Setelah kelasnya agak tinggi, mulai menjadi pengurus asrama. Puncaknya, setelah kelas 5 dan 6, mereka harus menjadi pengurus pusat Organisasi Pelajar Pondok Modern Gontor (OPPM). Mereka harus "mau dipimpin, siap memimpin." Keikhlasan diletakkan sebagai dasar yang paling tinggi. Pengurus yang melanggar disiplin, atau kelas enam yang tidak lagi menjadi pengurus, harus rela kembali menjadi anggota, menjadi yang diatur. Pernah, ada siswa kelas enam melanggar disiplin, kemudian disidang dan diusir, dipulangkan oleh siswa kelas 5 yang tengah menjadi pengurus. Ini pengalaman yang mahal.

Yang harus dipahami, Gontor bukan tujuan akhir, melainkan baru sekedar dasar, demikian pendiri juga selalu mengatakannya. Bahasa Arab dan Inggris yang dipelajari di Gontor baru dasar, yang akan berguna untuk menjelajahi ilmu pengetahuan yang terdapat dalam buku-buku dan kitab-kitab. Maka, setamat Gontor, para alumni harus memanfaatkan dan mengembangkan dasar pengetahuan itu. Jangan sombong; merasa ilmunya telah cukup. Itu salah. Sebaliknya, tidak salah jika alumni Gontor melanjutkan ke pondok salaf, mengaji kitab-kitab kuning. Atau ke pondok lain untuk menghafal al-Qur'an, yang hal itu sengaja tidak dikembangkan di Gontor.

Yang paling banyak, memang, alumni Gontor menjadi wiraswastawan. Namun, mereka selalu mengingat pesan alm. Pak Zarkasyi, "Apapun aktivitasmu, jangan lupa mengajar!" Itu juga dilakukan oleh Pak Husnun, pengusaha pengecoran baja yang sukses, mendirikan sekolah sekaligus menjadi salah satu pengajarnya. Juga ada Pak H. Shodiq. Meskipun beliau hanya sampai kelas 5 KMI, kini menjadi orang kaya, pengusaha sukses dan berpengaruh; pengayom banyak orang dari berbagai lapisan: dari anggota DPR sampai tukang becak. Yang mesti diingat, mencari rizqi bukan untuk mencari kekayaan, melainkan sekedar untuk bekal beribadah, bekal berda'wah.

Pilih mana, tamat universitas tapi menganggur karena hanya mengandalkan ijazah, atau tamat Gontor tapi bisa apa saja, meski tanpa ijazah? Ijazah bagi Gontor bukan sesuatu yang diberikan pondok kepada alumninya, melainkan sebaliknya, apa yang dapat dipamerkan alumni kepada pondoknya. Dalam pengertian Gontor, ijazah adalah wujud atau peranan alumni di masyarakat; kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan alumni Gontor. Maka, semasa Pak Zarkasyi dulu, saya seringkali melihat para alumni datang kembali ke pondok, lantas sowan Pak Zar sambil memamerkan ijazahnya.

Ada yang melaporkan, "Alhamdulillah Ustadz, kami sekarang mengajar di Tsanawiyah Anu; di Aliyah Sana; menjadi Kepala Desa; berwiraswasta sambil mengelola madrasah." Mendengar itu semua Pak Zar sangat bersyukur, hasil didikannya terpakai, bermanfaat. Demi melihat kiprah alumni Gontor itu, beliau pun kerap mengatakan, "Apa yang di dalam dada ini, jauh lebih besar dari kata-kata."
Moga tulisan ini mampu meluruskan niat mereka yang sekolah Gontor atau yang (akan) menyekolahkan anaknya di Gontor.

Hanya, ketika saya tanya kepada isteri saya yang alumnus Putri 1, dan isteri adik saya, "Ke Gontor apa yang kau cari?" Jawabannya apa, "Mencari kau, Yang." Subhanallah!
Mohon doanya, moga kami istiqamah, sabar, kuat, ikhlas mengabdi di Pondok Modern Darussalam Gontor.

Nashrulloh ZM Zarkasyi/Guru Bahasa Indonesia
Posted By : Ika Mustika Sari

Posting Komentar

2 Komentar

  1. bagus banget tulisannya. memang sebagi alumni kita harus sering-sering refresh pengalaman apa yang dah kira dapet dari Gontor, yang mana itu bener-bener berguna di masyarakat. BRAVO GONTOR!!!

    BalasHapus
  2. kalau ingin mendaftarkan anak di Gontor, minimal usia berapa dan syaratnya apa saja kira-kira?

    BalasHapus